Misteri Kado Cinta

lagu cinta tak pernah lelah menari dalam jiwa-jiwa sepi
indahnya membalut pedih dan kesakitan walau tak terucap
getarnya membungkus rapi tiap misteri iringi langkah
kado cinta tergelar indah

lagu cinta memancar terang
sakitnya adalah pancaran cinta yang sedang bersinar
kado cinta membungkus berjuta kisah

lagu cinta yang tak pernah lelah
tak pernah lelah menanti pertemuan dengan Cinta sejati
tak pernah lelah menabur indahnya pada jalanan kering agar menghijau
tak pernah lelah berbagi dengan hati-hati yang membisu
tak pernah mendendam pada sakitnya
yang sebenarnya adalah kenikmatan cinta
dari kado cinta di hela napas

*

“Akan ada kabut, tapi kita di tengah taman dan aku duduk di atas awan. Menggendong seorang anak lelaki,” gumam Inge sambil menatap diam-diam ke luar jendela kaca.

Dia dan suaminya sedang di ruang tunggu sebuah rumah sakit. Ruang itu makin ramai oleh para ibu dan calon ibu. Menunggu. Ya, semua sedang menunggu.

Sebagian ibu menunggu kelahiran anak berikutnya, sebagian lain lagi menanti kedatangan wajah baru dalam keluarganya. Satu per satu wajah-wajah itu menyiratkan kebahagaiaan dalam penantian. Ada gurat gelisah, namun wajah berseri-seri masih tersisa.

Arbi menatap istrinya sejenak, lalu meneruskan keasyikannya dengan surat kabar. Untuk kesekian kali dia mendengar istrinya menggumamkan kalimat yang sama, tapi dia tidak ingin tahu apa maksudnya. Hatinya sudah mulai datar. Entah masih berharap akan kedatangan seorang anak lelaki yang didamba, atau sudah putus asa karena wajah baru yang diharapkan tak kunjung datang.

“Halo….” Arbi mengangkat telepon genggamnya.

Inge memberikan tanda agar suaminya memelankan suara. Sebagian pengunjung melirik tajam pada Arbi.

“Ya, Mbak?” tanya Arbi tanpa semangat, lalu diam mendengarkan.

Satu detik kemudian terlihat wajahnya tegang dan serius. Inge menundukkan kepala, menangkap getar aneh dalam hati.

“Iya, Mbak, silakan berangkat dulu, kami menyusul.” Arbi mematikan telepon.

“Bapak, ya?” Inge bertanya dengan tatapan kosong.

“Kok, kamu tahu?”

“Dari kemaren aku inget Bapak. Raut wajahnya seperti ingin mengatakan sesuatu.”

“Bapak meninggal. Habis ini kita langsung pulang. Yang lain sudah di bandara.”

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun….”

Ruang antara keduanya sejenak hening.

“Aku udah saranin Mas Arbi untuk pulang dari minggu lalu.”

“Sudahlah, kita doakan saja agar perjalanan Bapak lancar. Kamu jangan terlalu banyak berpikir.”

Pembicaraan terhenti saat suster memanggil nama Inge. Keduanya buru-buru memasuki ruang praktek dokter dengan wajah mendung. Pemeriksaan berjalan lancar dan cepat. Tanpa banyak bicara dokter menuliskan resep dan beberapa catatan pada buku riwayat kesehatan Inge.

“Setelah minum obat ini kamu akan haid. Nanti kalau haidnya sudah bersih, ke sini lagi untuk suntik penyubur. Ok?”

“Baik, Dok.” Inge.

“Semoga berhasil.”

“Maaf, Dokter. Kita nggak bisa ngobrol lama karena ada keperluan mendadak.”

“Ok, nggak apa-apa, Pak Arbi. Lagipula di luar juga sudah ramai.”

“Kami pamit dulu, Dokter. Terima kasih.”

Dokter Lita yang sudah akrab dengan pasien satu ini memberikan resep pada Arbi, lalu memberikan beberapa pesan tambahan pada Inge agar tetap yakin bahwa dia masih bisa memiliki momongan.

Beberapa hasil tes laboratorium menunjukkan bahwa Inge tidak mengalami gangguan apa pun pada sistem reproduksinya. Tapi, beberapa kali keguguran membuat Inge merasa ragu apakah dirinya masih bisa memiliki momongan.

Tanpa ekspresi Inge mengekor suaminya ke apotik, lalu bergabung duduk bersama antrean yang lain. Dia hanya mengangguk saat suaminya tanpa henti juga memberikan semangat padanya.

*

Arbi dan Inge bergegas menuju ruang tunggu setelah melapor pada petugas di meja informasi. Mereka mencari tempat duduk agak ke pojok agar terhindar dari lalu lalang calon penumpang pesawat lain.

“Mas, boleh aku bicara agak sensitif?”

“Tentang?”

“Bapak.”

“Kenapa?”

“Tapi janji, Mas nggak marah.”

“Janji.”

“Maaf sebelumnya jika yang aku bicarakan ini tidak berkenan di hati Mas, tapi perasaanku mengatakan, atau katakan saja ini sekedar usul iseng-iseng saja, dan nggak penting, tapi bisa dipikirkan. Katakan pada kakak-kakak perempuan, agar mau menyediakan diri seandainya Bapak ingin dilahirkan kembali menjadi pribadi yang lain.”

Arbi tidak menjawab. Entah sedang bersedih memikirkan kematian ayahnya, atau karena kalimat istrinya. Wajahnya datar saja, tanpa sedikit pun ekspresi kesedihan atau menyetujui saran dari istrinya.

Inge mendadak merasakan perutnya berguncang dan menjerit tertahan. Arbi meletakkan kopernya, kemudian memegangi perut Inge. Wajahnya memancarkan rasa khawatir.

“Kenapa?”

“Perutku tiba-tiba sakit banget, Mas.”

“Masuk angin mungkin.”

“Enggak, sakit banget, seperti ada yang menusuk.”

“Apa karena minum obat perangsang haid dari dokter tadi?”

“Mungkin, tapi biasanya nggak pernah sakit begini.”

Arbi memberikan botol air mineral pada Inge, lalu memeluk pundaknya mencoba menenangkan. Tak lama kemudian mereka sudah berbaur dengan rombongan berjalan menuju pesawat.

*

Inge tercenung di kamar hotel, mencermati mimpi yang baru saja dia alami. Peluh menetes deras membasahi tubuhnya. Dia merasakan perutnya semakin nyeri bagai dihunjam beribu tusukan. Sementara Arbi masih di rumah kedua orang tuanya mengikuti acara pemakaman.

“Apakah benar aku hamil?” gumamnya sendiri.

“Mimpi macam apa lagi ini? Dua hari lalu dokter memberiku obat dan sekarang aku sedang haid, kenapa dalam mimpi tadi aku sedang hamil? Apa Mas Arbi akan percaya kalau aku ceritakan ini padanya?”

Perlahan dia bangun, duduk di pinggir tempat tidur sambil menyeka peluh di lehernya. Matanya memejam, kedua tangannya menengadah ke atas.

“Ya Tuhan, aku pernah tak menginginkan kehidupanku, aku juga pernah memohon agar aku tidak perlu melahirkan anak. Sekarang aku kembali memohon. Jika mimpi ini benar, apakah Engkau telah mengampuniku? Apakah aku bisa memberikan kado cinta untuk suamiku?”

Ketukan di pintu mengagetkan Inge dan menghentikan doanya. Dibukanya pintu perlahan. Arbi berdiri di sana terlihat lelah.

“Sudah selesai pemakamannya, Mas?”

“Sudah. Aku capek banget. Dari kemaren belum istirahat.”

“Aku pesenin makan, ya?”

“Nggak usah, tadi udah makan di rumah. Mau tidur aja.”

“Mandi dulu, biar segar.”

*

Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing, ketika malam harinya semua berkumpul di ruang tamu. Inge hanya duduk diam di pojok ruangan mendengarkan satu per satu kakak iparnya membicarakan peninggalan dan memori sang ayah. Tak satu pun berbicara mengenai keinginan sang ayah yang belum terwujud, atau mengenai perjalanan sang ayah yang belum selesai. Hanya kedukaan dibalut canda. Ya, hanya sedikit yang berduka. Bertumpuknya kesalahan seorang ayah membuat wajah-wajah itu tidak memendam duka.

“Aku masih mencintaimu, Ayah,” bisik Inge dalam hati. Ditatapnya wajah ibu mertuanya yang sedang diam duduk di tengah keramaian canda putra-putrinya.

“Lihatlah, Ayah, Ibu juga masih sangat mencintaimu. Aku tahu itu walau beliau berusaha menyimpannya dalam hati,” bisik Inge lagi dalam hati.

Arbi duduk di tengah ruangan melibatkan diri dengan pembicaraan yang semakin tidak ada ujungnya. Lalu, satu per satu berpamitan dan meninggalkan rumah tua itu dengan pikiran masing-masing. Tak satu pun memperhatikan wajah Inge yang semakin pucat. Ya, pucat bagai tak ada setetes pun darah mengalir di wajahnya yang putih.

Kemudian selesai begitu saja. Meninggal, dimakamkan, selesai. Tak ada apa-apa lagi yang perlu dibicarakan. Sementara Inge makin cemas membawa mimpi yang tak pernah berhenti, dirinya sedang menggendong bayi lucu. Disimpannya saja mimpi itu sambil menekan perutnya yang semakin hari semakin sakit dia rasakan. Setiap kali dia merasakan kesakitan, senyuman semakin manis terukir di matanya. Dibisikkannya alunan indah dari hatinya untuk Sang Kekasih.

“Berikan hadiah terindah untuk Arbi-ku, Wahai Kekasih. Bagaimanapun cara yang Engkau berikan, aku tak akan mempertanyakannya,” bisiknya selalu dalam tiap tidurnya.

Matanya tak lagi membahas duka yang pernah merangkai hidupnya bersama sang suami. Yang diinginkannya adalah kado cinta untuk pujaan hati. Disingkirkannya segala pedih yang pernah diberikan padanya. Inge terus alunkan doa bersama angin malam yang semakin lembut mengiringi mimpinya.

*

Inge memejamkan matanya berusaha tidak tertarik pada bisik-bisik dari para calon ibu yang kembali ramai di ruang tunggu. Tiba-tiba matanya menangkap bayangan hitam. Dia melihat seorang kakak iparnya sedang menangis di pojok gelap. Sementara seorang bocah kecil berlari meninggalkan kakaknya sendirian.

Keraguan membuatnya tak membagikan apa yang dilihatnya itu pada suaminya. Dibukanya mata ketika mendengar telepon genggam suaminya berdering. Dadanya berdegup kencang, namun mulutnya terkunci rapat.

“Apa lagi, Ya Tuhan?” bisiknya dalam hati.

Dilihatnya wajah Arbi tegang mendengarkan pembicaraan di telpon. Kemudian menatap Inge dengan pandangan lesu setelah menutup sambungan.

“Ada apa?”

“Mbak Ria keguguran.”

“Ya, Tuhan. Kok bisa, Mas?”

“Itu dia. Diagnosa dokter kurang memuaskan keluarga. Janin dimakan virus katanya.”

“Trus?”

“Hanya itu informasi yang didapat.”

“Kita ke sana sekarang, Mas?”

“Ya, setelah ini kita langsung ke sana.”

“Mudah-mudahan mereka dapat menerima ini dengan tabah.”

“Padahal mereka sudah terlanjur bahagia menanti kelahiran putra pertama mereka.”

Inge tak dapat berkata-kata lagi. Arbi juga diam, menggenggam telapak tangan istrinya sambil memejamkan mata. Pasrah.

*

Dokter mengeryitkan dahi, meneliti kertas dari laboratorium yang dibawa Inge. Dibacanya berulang-ulang kertas itu sambil sesekali membuka lagi buku catatan riwayat kesehatan Inge.

“Ada yang tidak beres, Dokter?” tanya Arbi tak sabar.

Dokter menatapnya lama, lalu menunujukkan kertas laboratirum. Arbi menatap lama catatan di depannya, kemudian menggeleng tak mengerti.

“Pada hasil test laboratorium ini menunjukkan bahwa Inge hamil.”

“Hah? Kok bisa?” Arbi dan Inge serentak.

“Itu dia. Aku sendiri juga sangat tidak habis pikir.”

Ruangan hening. Dokter masih membuka-buka buku catatan kesehatan. Arbi dan Inge saling tatap.

“Sudah berulang-ulang aku cocokin lagi dengan cacatanku. Kalian ke sini minggu lalu, kan?”

Arbi dan Inge serentak mengangguk. Dokter itu kebingungan membolak-balik kalender dan riwayat kesehatan Inge. Tak lama kemudian berdiri.

“Untuk meyakinkan hasil tes laboratorium ini, kita periksa dalam saja. Ayo Nge, ke ruang periksa, kita test USG sekalian.”

Inge menatap Arbi ragu, lalu berdiri setelah melihat suaminya mengangguk dengan penuh keyakinan. Dokter dengan efektif melakukan tugasnya. Tangannya cekatan menumpahkan gel ke rut pasiennya, lalu menatap mesin USG. Inge menatap wajah dokter yang tegang.

“Luar biasa.”

Inge menatap tak mengerti.

“Kamu benar-benar mendapatkan hari yang luar biasa.”

“Maksud Dokter?”

Dokter yang masih kelihatan cantik di usia senjanya itu menatap Inge sambil tersenyum penuh keheranan. Gembira berbaur dengan tanya yang tak terjawab.

“Kamu selesai haid kapan?”

“Tiga hari lalu, Dok.”

“Dan, makhluk mungil di kandunganmu sudah berusia tiga bulan menurut alat ini. Selamat, ya.”

“Makhluk mungil?”

“Janin maksudku. Jangan tegang gitu, dong.”

“Janin?”

Inge masih duduk diam di tempat tidur pemeriksaan sambil terus memperhatikan dokter membersihkan peralatan dan tangan. Pikirannya berkecamuk tidak mengerti apa yang baru saja didengarnya. Tapi, hatinya tersenyum menyatukan bayangan indah dan keraguan pada mimpi yang selalu setia menemaninya dalam gelap.

*

Enam bulan kemudian Arbi tersenyum sambil menyimpan tanda tanya, menatap bayi mungil di pangkuannya. Dia bisikkan alunan indah ke telinga mungil itu. Mata mungilnya mengerjap mendengar Nada Cinta yang dikumandangkan Arbi. Bibir mungilnya mengukir senyum seperti ingin mencerna dan berenang di dalam nyanyian surgawi itu. Dia letakkan bayi mungilnya dengan hati-hati. Kemudian berjalan keluar ruangan bayi, menyusuri lorong rumah sakit, menyembunyikan air mata syukur dari kelopaknya.

Sesampai di ruang perawatan dia melihat dari balik kaca, Inge terbaring lemah di ruangan penuh dengan peralatan yang membuat kuduknya berdiri. Mata Inge tertutup, entah sedang berada di mana hatinya. Dokter dan para perawat begitu sibuk, berlarian mengambil bermacam peralatan. Mereka terlihat sedang berjuang keras mengembalikan senyum Inge yang tiba-tiba lenyap bersama napasnya yang semakin tersengal. Arbi menggigil memanggil istrinya dari balik dinding hati yang tiba-tiba sunyi.

“Ini kado terindah untukku, Sayang. Tapi, akan lebih indah jika kau menemaniku menikmati keindahan kado ini,” bisiknya dengan hati bergetar, lalu hatinya meronta pasrah pada Sang Kekasih, memohon belas kasihan tak terukir dalam kata.

“Untuk kesekian kalinya dia ingin pergi bersama-Mu, Ya Allah. Kau tahu, aku masih butuh dia. Izinkan aku bersamanya sebentar lagi saja. Bukakan pintu maafnya untukku.”

Perlahan air mata Arbi menitik. Dokter sudah berada di sampingnya. Tersenyum sambil menyeka keringat yang membasahi wajah dan baju dokternya. Tangan dokter yang juga basah keringat itu terjulur.

“Selamat ya, Arbi. Jaga keduanya baik-baik.”

“Inge?”

Arbi tak berani melanjutkan pertanyaan. Dia melihat istrinya dibawa ke dalam ruangan tertutup. Perawat saling berjabat tangan dan mengusap peluh masing-masing sambil menatap Arbi.

“Bukan Inge kalau nggak bikin jantungku hampir lepas dari tempatnya. Satu jam lagi kamu boleh menemuinya di ruang pemulihan. Sekarang biarkan dia beristirahat dulu.”

Dokter cantik itu tersenyum menenangkan melihat wajah Arbi yang pucat. Dijabatnya tangan Arbi sekali lagi sambil berbisik pelan, “Selamat, ya. Inge bilang bayi mungil ini kado ulang tahunmu.”

Kemudian berlalu meninggalkan Arbi sendiri. Perlahan senyum indah terukir di wajahnya. Tak sabar dilihatnya jam tangan sambil berjalan mengitari koridor demi koridor rumah sakit, berharap waktu berjalan dengan cepat.*

Kit Rose 04 Februari 2010

(Untuk yang tercinta Febrico Masqa Taqinda. Aku tahu Cintaku ada dalam hatimu)

10 thoughts on “Misteri Kado Cinta”

  1. Dicabutnya “nyawa” oleh Allah adalah peristiwa gaib …
    Ditaruhnya “nyawa” dalam rahim adalah peristiwa gaib pula …
    Allah hanya memberikan sedikit saja pengetahuan tentang itu …
    Allah kadang memberikan indera keenam agar manusia mengetahuinya …
    Keduanya sama-sama menuntut kepasrahan manusia …

    Lagi-lagi … novel “misteri” yang sangat indah Mbak Rose.

    Salam

    Like

Leave a reply to kitrose Cancel reply