Gema Takbir dalam Cinta Membisu

gema

Wahai anak-anakku,
kau kabarkan padaku rumahku kemasukan pencuri,
lalu bagaimana aku akan menangkap pencuri itu
jika aku harus sibuk melerai kalian saling berbaku caci dan maki
kau kabarkan padaku bahwa tubuhku ini penuh luka,
bagaimana aku dapat mengharap kalian dapat membalut lukaku
jika kalian telah berdarah dan lebih terluka daripadaku

Dengarlah wahai anak-anakku
tangisan Ibu Pertiwimu ini bahkan tak terdengar,
tertutup oleh gelombang api amarahmu
tidurlah di pangkuanku sejenak
dengarkan dawai bergitar alunkan nada surgawi
siramkan api cinta ini pada lukamu
agar kalian dapat segera membalut luka kian menganga ini

Berdamailah sayangku
sembuhkanlah luka ini dengan pelukan cintamu
maka bahkan jentik kecil pun tak akan berani mengambil hakmu
mereka akan malu karena di sini banyak cinta menjaga angkara
mereka akan enggan mengendap menunggu lengahmu.

~

“Langit sudah dilukis dan awan sudah dicat, bahkan angin pun sudah digambar oleh-Nya. Indah sekali, petang dan terangnya menaungi jiwa kita, dan kau tak akan bisa mengubahnya lagi.” Puspita akhirnya berbicara dengan suara perlahan.

Jemarinya yang lembut masih sibuk dengan sulaman, namun dapat membuat ruangan yang ramai oleh suara-suara saling berebut murka itu menjadi senyap. Semua mata dari tiap jiwa yang sedang berebut makna menatapnya tanpa dapat berkata-kata. Perempuan itu tak sering mengeluarkan kata-katanya, namun setiap kalimat yang diucapkannya akan menyihir telinga-telinga kesakitan.

Sentana, si bungsu yang sedang bergelora meneriakkan semangat perjuangan bersama teman-temannya, melipat wajah sambil melirik ibunya. Kemudian tanpa diduga mengeluarkan protes dengan agak segan, namun mengejutkan.

“Ibu selalu mengatakan begitu, seolah tak ada lagi kalimat lain yang bisa dikatakan Ibu.”

“Sentana! Bisakah kau sopan sedikit memerintah mulutmu menyemburkan kata-kata?” Faska, sang kakak, menatap tajam adiknya.

“Aku tidak minta nasehat dengan berbagai ramuan kata, Kak. Aku hanya minta izin untuk ikut turun ke jalan besok. Itu saja.”

“Dan, kau tak sadar? Dari semenjak sore kemaren kau berulang kali mengatakannya, Ibu hanya diam. Kau tak tahu itu maksudnya apa? Sudah berapa lama kau jadi anak Ibu sampai kau tak dapat memahami sikap Ibu?”

“Ah, Kakak aja yang cari muka. Mumpung aku sedang disidang di sini.”

“Aku? Aku cari muka? Bukannya kamu yang harus segera mencari ke mana sebenarnya muka hatimu menghadap?”

“Ini bukan saatnya merangkai kata, Kak.”

“Merangkai kata, katamu?”

“Ya, itu kan, kesukaan Kakak? Merangkai kata cinta.”

“Aku tak perlu merangkainya, Sentana. Di rumah ini telah banyak cinta, kita basmi penyakit dengan cinta juga.”

“Bangsa ini sedang sakit, Kak, perlu obat, nggak butuh kata cinta.”

“Dengan gerimis cinta dari rumah ini, semoga amarah dan komplikasi akan reda. Akan kutuang cinta pada kemarahanmu sampai kau dapat bicara atas nama cinta. Bangsa ini tak ingin cacian dan tikaman, sayang, hanya cinta dan damai.”

“Huft, indah sekali kata-katamu, Kak, aku jadi ingin tertawa.”

“Aku tak peduli hari ini kau tertawa melihatku meneriakkan cinta. Akan terus kumandikan kamu dengan cinta. Akan selalu kusuapkan cinta demi cinta pada marah dan murkamu. Karena di sana ada DIA. Kau tahu? Ada Tuhan, Sang Penebar Cinta.”

“Sudah, sudah.” Ouda, paman yang bijak menengahi.

Sementara Linda, istrinya, yang menahan beribu kata menatap tajam pada Sentana yang bergeming dari wajah marahnya.

“Biar saja, Paman, biar dia segera sadar, apa yang harus dia lakukan sebenarnya. Biar dia juga dapat mengingat bagaimana Kakak menumpahkan darah sia-sianya di tengah raungan kemarahan yang tak kalah sia-sia.”

“Kakak tidak sia-sia menumpahkan darahnya di sana. Dia membela bangsa kita. Kalian dengar? Kakak membela bangsa yang terpuruk ini.”

“Sentana!” teriak Ouda murka. “Kakak sulungmu sudah tiada, menumpahkan darahnya di atas tubuh Ibu Pertiwi, apakah hidup rakyat semakin makmur? Kau terlalu sibukkah dengan rencana demo bersama teman-temanmu itu sampai kau tak sempat melirik ke tepian jalan? Di sana masih banyak jiwa-jiwa kelaparan, perjaka tangguh! Kenapa tak kau gunakan waktu dan kepandaianmu untuk berjuang demi yang membutuhkan? Sedemikian mendidih gelora perjuanganmu sampai kau tak lagi merasa bahwa rakyat kita masih banyak yang melarat? Orang-orang di pinggir jalan itu membutuhkan jiwa-jiwa muda sepertimu, untuk memberikan ruang bagi mereka mencari nafkah!”

Ouda mengepalkan tinjunya pada meja, tak dapat menahan gemuruh khawatir dan gelisah. Keponakannya sudah hilang ditelan nestapa tak berujung. Kini dia harus berhadapan lagi dengan mimpi buruk yang tak ingin lagi didengarnya.

“Ssshhh… Kakak, tolong jangan semakin kau kotori rumah ini dengan beradu kemarahan dan kata-kata pedas. Hatiku nyeri mendengarnya. Banyak bumbu di dapur untuk meramu makanan menjadi lezat, tak perlu kau gunakan racun, cabaiku sudah cukup pedas.” Puspita menyelesaikan kalimatnya, meletakkan rajutan, kemudian berlalu meninggalkan ruang keluarga yang semakin memanas itu.

Ouda hampir tak berkedip memandangi adik perempuannya berjalan perlahan memasuki kamarnya. Dia sangat tahu, adiknya menyembunyikan air mata.

“Mungkin kau berpikir, ibumu hanya pandai membual dan meramu kata-kata indah, Sentana. Tapi, bualan dan kata-kata indahnya itulah yang telah membuatmu menjadi seperti sekarang ini. Mahasiswa teladan.” Risman, sang ayah yang dari tadi hanya membisu menatap tajam, namun penuh kelembutan pada putra bungsunya. Perlahan dia letakkan buku dan menatap kakak iparnya.

“Maafkan istriku, Kak Ouda dan Kak Linda. Dia mungkin tak ingin ruangan ini semakin panas, tolong janganlah dianggap tidak sopan jika dia harus meninggalkan kalian tanpa permisi.”

“Ibu tak pernah bicara, tapi hatinya penuh kata, aku tahu itu. Tolong pikirkan rencanamu itu kalau kamu masih menyayangi Ibu,” sahut Faska sambil menatap tajam ke arah adiknya, lalu mengangguk pada ayahnya, Ouda, dan Linda, kemudian berlalu menyusul ibunya.

Ruangan hening sesaat. Gema takbir mengalun merdu dari sisi jalan di seberang rumah mewah itu. Masing-masing yang tersisa di ruangan hanya beradu diam dan pandang, lalu satu per satu berlalu dari sana. Membiarkan Risman sendirian, memejamkan matanya menikmati alunan takbir dalam hati kian membisu.

Hatinya mendengar istrinya pun sedang bersenandung cinta dalam balutan takbir nan syahdu. Hatinya juga tak lelah berbisik mesra pada Sang Cinta dan pemilik malam. Diusirnya kegelisahan tentang si bungsu yang hendak melangkah ke persimpangan penuh bara. Diusirnya bayangan si sulung yang terkapar penuh darah di tengah riuh rendah kemarahan tanpa ada yang peduli ke mana jiwanya berlari. Diserahkannya segala sesal dan kecewa pada sang Maha Cinta tentang segala resah.

~

Linda meletakkan mukena dan sajadahnya, lalu menatap syahdu adik iparnya yang masih mesra dengan nyanyian cintanya. Jemarinya indah menapaki butiran-butiran cinta dalam genggaman kepasrahan. Dipeluknya Puspita ingin memberikan kekuatan.

“Aku ingin kau tetap sekuat ini, apa pun yang terjadi nanti. Biarkan apa yang harus terjadi singgah dalam hidupmu. Besok aku dan Bang Ouda harus pulang, aku titipkan doa dan cintaku di hatimu, agar Dia segera membuka mata hati putramu, Sentana,” ucapnya dengan lembut.

Puspita menatap kakak iparnya sambil tersenyum hangat. Matanya ingin menyiratkan bahwa sebenarnya dia juga takut akan kehilangan untuk kedua kalinya, namun bisikan Cinta dalam hatinya membungkus takut itu menjadi keyakinan.

“Terima kasih, Kak, sekarang Kakak tidur saja, aku akan menunggu fajar menemani jiwa anakku yang sedang mencari jalan pulang.”

“Kita bersatu dari satu lidi Puspita, kita ikat menjadi sapu dengan tali cinta. Walau tanpa tali, cinta suci tetap akan bersatu.”

“Iya, Kak. Dari satu jiwa penuh cinta, akan terlahir menjadi ribuan nyawa berselubung damai.”

“Jangan pernah menitikkan air mata untuk perjuangan ini, ya.”

“Air mataku sudah habis, Kak, memohon setitik cinta-Nya untuk teman dan putra bangsa yang berebut baku hantam. Dia sudah berikan, tapi mengapa mereka masih kehausan?”

“Kau tabah dalam menatap kelam dan kuat menggenggam Cinta dalam hatimu. Semoga sebagian napasmu melayang di gelap malam dan hinggap pada jiwa-jiwa yang masih bimbang.”

“Terima kasih, Kak. Jangan lupa kau sisipkan juga doa untuk putraku dalam setiap nyanyian cintamu.”

Linda tersenyum, menarik tangan Puspita ke dalam genggamannya, lalu berkata dengan senyum masih tersungging, “Kau tahu Pita, sore tadi putraku memberi kabar. Dia dan teman-temannya membatalkan rencana demo mereka. Doa kita menembus awan. Semoga menembus juga hati Sentana dan hati-hati lain, agar segera terlahir putra-putra bangsa sejati.”

“Ahamdulillah. Segala puji hanya milik Allah.”

“Kita mulai dari rumah kita sendiri, Pita,” lanjut Linda sambil melepaskan genggaman tangannya, lalu diambilnya lipatan kain berwarna merah putih dari tasnya. Kain berbentuk bendera kecil, disisipkannya ke tangan Puspita.

“Berikan ini pada Sentana. Ajarkan dia bagaimana menjadi putra bangsa yang sesungguhnya.”

“Kita mulai dari rumah kita sendiri ya, Kak, dengan kekuatan cinta yang tak pernah kering ini semoga menjadi pijakan cinta untuk rumah-rumah cinta yang lain. Agar tak ada lagi air mata sia-sia.”

Dua perempuan itu berpelukan, bertukar air mata cinta untuk putra-putri mereka. Angin bertiup menjadi saksi tak bicara, namun gemanya menyebar bersama alunan takbir membisu. Menyatu bersama cinta-cinta nun jauh di ketinggian.

~

Puspita duduk di tepi pembaringan putranya. Ditatapnya wajah kekar itu tertidur dalam gelisah. Terukir senyum penuh amarah di bibir Sentana. Dipegangnya jemari terkulai dalam lelap itu. Dialunkannya doa memohon cinta-Nya menembus dinding beku di hati putranya. Ditatapnya mata tertutup itu dengan sepenuh cinta, dikirimnya bisikan cinta ke dalamnya dengan penuh kepasrahan. Tak meminta, hanya mengalun indah. Tak dilepasnya tangan putranya sampai senyum amarah melembut di bibir pucat Sentana.

Risman mengawasi istrinya dari pintu, menutupnya perlahan, lalu menghampiri istrinya dan mencium keningnya dengan lembut. Dihisapnya aroma cinta penuh keyakinan dan kepasrahan dari hati yang sangat luas itu, lalu berbisik di telinga putranya perlahan.

“Dengarkanlah nada cinta dari bibir kelu ibumu, Nak, dia juga berjuang sepenuh jiwa untuk bangsa kita. Walau tak ada yang tahu, tapi Tuhan Maha Mengetahui. Bersatulah dengan cinta kami. Jangan biarkan hatimu tergoda untuk memuaskan angkara yang selalu mengintip menunggu lengah.”

Kemudian menatap istrinya dengan lembut dan berkata, “Semoga hatinya terbuka untuk mendengar cintamu.”

“Cinta yang dari-Nya tak ada batasan dan jarak, Mas, dengan kekuatan Cinta tak terbatas ini insya Allah akan tergenangi biarpun samudera kering dan sahara tandus. Satu demi satu, kita selipkan cinta di setiap relung kemarahan, maka Tuhan akan menebar di semua hati.”

“Besok, kuminta satukan juga kedua hati anak kita dengan cinta.”

“Ketika seorang ibu melihat kedua anaknya bertikai, maka hanya dengan cintalah dia dapat melerai keduanya.”

“Amin,” jawab Risman, lalu ditariknya tangan istrinya perlahan, keluar dari kamar putranya.

Angin malam bertiup menjauh membawa hembusan wangi dan merdu ke dalam kegelapan malam. Jentik-jentik liar meremangkan kuduknya mencoba melawan kekuatan cinta. Tapi, wanginya mengalahkan malapetaka yang kian mengintip menghampiri. Para amarah ingin membakar hati jiwa-jiwa muda dengan mengatasnamakan kebenaran.

~

Faska duduk termenung, sendiri menatap kosong pada sepoi angin yang seolah enggan melintas di depannya. Bingkai hatinya penuh luka, rumah hatinya porak poranda. Bayangan kakaknya membeku dalam balutan kain kafan menerjang pintu air di matanya. Kini adiknya meraung dan mengabarkan lagi kisah sedih yang telah disimpannya.

Ditatapnya pagi yang masih remang seolah bersiap menanti ngeri bersamanya. Gendang telinganya meradang mendengar berita televisi ramai berebut nilai di atas duka lara. Wajah-wajah bengis mengatasnamakan cinta dan perjuangan. Mereka tak pernah lelah berebut pembenaran, dalam irama panas yang semakin hari semakin erat mencengkeram.

Tiap wajah berlomba menampakkan diri, akulah terhebat, akulah sang benar. Tak ada satu pun yang mengatakan, akulah penebar cinta, akan kuberikan cinta yang luas, penuh dengan makna dan maaf pada setiap hati. Marilah berdamai bersamaku. Tak ada.

Gerimis tiba-tiba datang, perlahan menjadi hujan, seolah menyapa hendak mengabarkan, jangan lagi air mata membasahi kebenaran dan cinta. Lalu, tak ada lagi suara-suara dari televisi. Faska menengok ke pintu. Ibunya berdiri di sana memandanginya sambil tersenyum lembut.

“Kamu sudah bangun, Faska?” Duduk di sebelah putrinya.

“Dari Subuh tadi, Bu.”

“Adikmu sudah bangun?”

Faska menggeleng dengan wajah duka. Ditatapnya pagi dengan wajah sarat kekawatiran. Tangan Puspita mengelus bahunya lembut.

“Kamu sudah berdoa, kan?”

Mengangguk.

“Kalau begitu jangan biarkan keyakinanmu digoyahkan oleh apa pun. Doa kita pasti didengar. Percayalah.”

Menatap ibunya tak yakin.

“Lihatlah air hujan itu. Dia mengabarkan cinta untuk kita.”

“Faska ingat Kakak, Bu. Faska takut kejadian itu terulang lagi.”

Puspita tersenyum lembut pada putrinya.

“Bukankah kamu berhasil mengibarkan bendera perdamaian di antara teman-temanmu di kampus? Mereka tak jadi ikut demo, kan?”

Mengangguk.

“Nah, lakukanlah itu pada adikmu.”

“Dia selalu memancing pertengkaran, Bu, setiap aku mencoba melarangnya.”

“Mengapa kamu harus melarang? Berikan bahasa cinta seperti yang kau berikan pada teman-temanmu. Jangan ketakutanmu akan kejadian yang menimpa kakakmu menjadi sebuah paku yang harus kau tancapkan di hati adikmu. Jangan, Sayang. Lakukanlah sebagaimana sudah kau lakukan.”

Faska tersenyum, lalu memeluk ibunya dengan hangat. Ditatapnya wajah sang Kakak di kejauhan hatinya. Merdu cinta di hatinya membuatnya kembali bersemangat.

“Aku nggak dipeluk, nih?” Sentana berdiri di pintu dengan wajah kusut, tapi tersungging senyum tipis di sudut bibirnya.

“Kak Faska sudah mencobanya, Bu, tapi aku yang nggak mau dengar.”

Puspita mengelus rambut putranya lembut, matanya tersenyum melirik putrinya. Kabut mulai menepi dari kejauhan.

“Maafkan aku ya, Kak.”

“Aku maafkan, tapi traktir baso, ya.”

Dan, teras basah itu riang dengan tawa berderai. Hujan menepi bersama angin cinta.

“Dari kita ditugaskan untuk lahir ke dunia ini, sampai kita kembali ke asal dan menghadap-Nya, hanya Dialah yang mempunyai hak untuk mengaturnya. Jangan pernah lupakan itu.” Puspita memeluk kedua anaknya.

“Dan, apa pun yang terjadi, tidak pernah terlepas dari izin-Nya.” Risman berdiri di pintu, senyum damai tersungging dari bibirnya.

“Pedihnya kehidupan ini tergantung ke mana hati kita melangkah. Jadi jangan kita salahkan siapa pun untuk sebuah kenistaan,” lanjutnya.

Ouda dan Linda bergabung di teras ceria itu, menghantar senyum hangat dan bahagia, menatap wajah-wajah cinta di depannya. Diambilnya kursi untuk meramaikan kedamaian yang sedang menyelimuti pagi.

“Paman bangga padamu, Sentana,” sambung Ouda. “Ayah dan ibumu memberikan nama kekar padamu tidak untuk menorehkan duka dan karya berlumur darah. Tapi, untuk membalut luka Ibu Pertiwi dan mengukir cinta.”

“Bibi juga bangga padamu, Sayang.” Linda menambahkan. “Masalah dan rejeki datangnya beriringan. Itulah makna dari hidup. Kalau kita dapat menerima nikmat dengan lesung pipi, kenapa tidak dapat memahami gejolak dan masalah dengan kerendahan hati?”

“Aku tadi malam mimpi bertemu Kakak,” jawab Sentana sambil menundukkan kepalanya. “Lalu, aku berpikir. Jika aku mengulang sejarah, menumpahkan darahku untuk hal yang tak pasti bagiku, apakah masalah negeri ini akan selesai? Setelah kematian Kakak dan teman-temanku, aku masih melihat masalah tidak juga berhenti.”

“Sungguh Ayah tak dapat mengatakan betapa bangganya Ayah padamu, Nak.” Risman meninju pelan pundak putranya.

“Tapi, kita jangan berhenti melangkah, kan? Biarkan para wakil rakyat menyelesaikan masalahnya dan kita berkarya sambil berdoa untuk mereka, agar masalah bangsa ini segera selesai.”Faska berdiri dan menarik tangan adiknya.

“Kita kumpulkan teman-teman untuk merencakan kegiatan yang lebih bermanfaat. Ini sebagai bentuk pengabdian untuk bangsa. Agar Kakak tersenyum di sana memandang kita. Bukan begitu, Paman dan Bibi?”

Derai tawa semakin membungkus pagi itu dalam kebahagiaan. Satu lagi rumah menutup pintunya untuk memudarkan kemurkaan di tepian jalan. Sinar cintanya menerpa terang dan melesat menuju pintu rumah lain di gelap malam. Satu per satu, namun penuh kepastian, cahaya cinta menebarkan terang dan harumnya ke tiap pelataran. Hening tak pernah lelah menyapa kelam.

Kit Rose, 28 Januari 2010

Untuk seluruh pejuang sejati dan penebar cinta di atas negeri, “Di atas goresan tinta ini kuteteskan darah cintaku untukmu.”